Selasa, 16 Maret 2010

Kamis, 04 Juni 2009

Aaargghh,,,tidak!

Ketika membaca artikel ini, aku merasa tertohok. Jangan-jangan selama ini sadar atau tidak aku telah melakukan tebar pesona. Astagfirulloh.
Sengaja menebarkan fitnah untuk diriku sendiri, padahal dengan tulisan itu orang lain juga akan memberikan penilaian bagi diriku dan menjadi fitnah untuk agamaku. Ya Allah… begitu halusnya… hingga kita tak menyadarinya. Jangan-jangan saya dan kita mungkin sudah terjebak dalam permainan setan ini?! lambat laun karena tidak sadar, akhirnya kita telah jadi korban.. Ya Alloh, ampuni dosaku.

-pkbik-

Selasa, 02 Juni 2009

Dua Puluh Satu Kali!

Bismillah, ini sebuah kisah yang mungkin bisa menjadi penyemangat saat ini. Semoga bermanfaat...

baitijannati. “Dua puluh satu kali, Mbak?” mataku membulat. Takjub. Aku merentangkan kesepuluh jari tangan sambil melihat ke bawah ke arah telapak kaki yang terbungkus sepatu. 21! Bahkan seluruh jemari tangan dan kakiku pun tak cukup buat menghitungnya. “Itu selama berapa tahun, Mbak?” Aku bertanya lebih lanjut.

“Hhmm, kurang lebih tujuh tahun terakhir!” sambutnya gi, ringan saja. Tak tampak pada raut wajahnya yang sudah mulai dihiasi kerut halus kesan malu, tertekan taupun stress. Wajah itu damai. Wajah itu tenang. Tak menyembunyikan luka apalagi derita.

“Mbak… ehmm, maaf, tidak patah arang… sekian kali gagal?” Takut takut aku kembali bertanya dengan nada irih. Khawatir menyinggung perasaannya. Dia hanya kembali tersenyum. Tapi kali ini lebih lebar. Sumringah. Dia mengibaskan tangan, sebagai jawaban bahwa dia tak trauma dengan masalah itu.

“Kalau sedih, kecewa, terluka… pasti pernah lah ada saat-saat seperti itu. Trauma…. sebenarnya pernah juga.
Nyaris putus asa juga pernah. Namun alhamdulillah tidak berlarut-larut.”

Mata itu berbinar-binar, seakan turut bicara.

“Justru, kini saya merasa lebih dewasa, lebih matang dengan semua kegagalan itu. Banyak sekali pelajaran yang bsia diambil dari tiap kegagalan itu. Saya menjadi lebih bisa mengerti berbagai karakter manusia. Saya dapat lebih menghayati realitas dan kuasa Allah atas hidup kita. Dan pasti jadi lebih banyak pengalaman… setidaknya pengalaman proses menuju nikah hingga 21 kali..hahaha,” dia tertawa lepas. Renyah. Manis sekali.

Perempuan itu, kini sudah 30 tahun lewat usianya. Sebuah usia yang tak lagi remaja memang. Sebuah usia yang sangat wajar dan pantas jika ia resah karena jodoh tak kunjung tiba. Namun ia tak nampak panik atau gelisah. Bisa jadi ia memang pandai menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Namun saya lebih percaya ketenangannya tumbuh karena kematangan dan keimanan.

Gadis ini dapat dikatakan sederhana. Dengan penampilan sederhana pula. Aktifitasnya pun bersahaja walaupun dulunya dia termasuk aktifis tingkat tinggi. Sehari-hari ia bekerja sebagai staf pengajar di sebuah lembaga pendidikan. Aktifitasnya yang lain adalah mengajar TPA, mengikuti pengajian rutin maupun berbagai pengajian umum yang banyak diselenggarakan oleh berbagai lembaga di berbagai lokasi di Jakarta.

Selebihnya ia lebih banyak di rumah. Membaca buku dan membantu mengurus pekerjaan rumah tangga karena Ibunya tidak memiliki pembantu. “Proses pertama saya jalani ketika saya baru menyelesaikan kuliah saya. 22 tahun usia saya ketika itu. Waktu itu tentu saja saya tidak sebersahaja sekarang.” Dia mulai bercerita. Saya menunggu.

“Saya masih ingat sekali. Waktu itu saya mengajukan berbagai kriteria. Saya ingin calon suami yang sarjana, pekerjaan mapan, aktifis dakwah atau minimal memiliki pemahaman agama yang bagus, dari keluarga baik-baik, dan sama-sama orang jawa seperti saya. Sebuah kriteria yang saya rasakan konyol sekarang, namun dulu saya pikir itu wajar. Muslimah mana yang tidak memiliki idealisme seperti itu?”

Ia melanjutkan ceritanya…

“Ada beberapa orang yang ditawarkan oleh guru ngaji maupun oleh orang tua. Ada juga yang datang sendiri. Tetapi semua saya tolak. Saya pikir waktu itu saya masih muda. Saya isa mengisi maa muda saya dengan berbagai aktifitas positif sambil terus menunggu seseorang yang mendekati kriteria yang saya inginkan. Maka saya pun mulai memperbanyak aktifitas. Mengambil banyak kursus, mengikuti bebagai pelatihan dan aktif di beberapa komunitas sosial kemasyarakatan.”

“Usia saya menjelang 25 tahun ketika saya menemukan seseorang dengan kriteria seperti yang saya inginkan. Awalnya proses kami lancar-lancar saja. Orang tuanya bahkan sudah datang mengkhitbah ke rumah. Bahkan kita sudah akan menentukan tanggal pernikahan. Tapi oleh alasan yang sepele, tiba-tiba orang tuanya membatalkan khitbah. Sungguh saya shock waktu itu. Saya tak habis mengerti, apa yang salah dengan saya, dengan dia dan dengan proses kami?”

“Cukup lama saya tenggelam dalam kesedihan. Beberapa waktu kemudian sebenarnya banyak lagi yang mengajukan tawaran. Tapi saya selalu membandingkan dengan mantan calon suami saya. Saya menggunakan parameter dia untuk menilai setiap orang yang datang pada saya. Meskipun saya tidak pernah menolak lagi orang-orang yang datang kemudian itu, tapi entah mengapa proses selalu berakhir dengan kegagalan. Saya tak lagi menghitung, itu sudah yang keberapa kali. Akhirnya saya kembali menenggelamkan diri dalam aktifitas sosial dan organisasi. Saya aktif di partai. Dan saya sempat tak lagi memedulikan masalah menikah.”

“Usia saya sudah lewat dua puluh tujuh. Justru orang-orang lain yang mulai ribut. Orang tua terutama. Kemudian kaum kerabat. Juga teman-teman saya. Merekalah yang kemudian menawarkan dan mencomblangi. Saat itu saya mulai belajar dari pengalaman. Saya tak lagi terlalu idealis. Saya menyerahkan saja kepada para perantara saya itu. Saat mereka meminta biodata, maka saya berikan biodata saya. Saya netral saja. Kalau diterima ya syukur, tidak diterima ya sudah. Dan ternyata nyaris semua tidak diterima. Alasannya macam-macam. Kebanyakan bahkan saya tak sampai ketemu mereka, sudah ditolak duluan. Saya sudah tak menghitung lagi berapa banyak biodata yang saya buat. Rata-rata tidak kembali.”

“Usia saya sudah lewat dua puluh delapan tahun saat saya menyadari bahwa saya harus mulai proaktif. Saya tak lagi menyerahkan begitu saja pada nasib atau teman-teman. Saya harus mulai mencari sendiri juga. Tentu saja tetap dengan cara-cara yang ahsan.”

“Pada usia ke-29 saya menemukan seseorang lagi. Dia sholeh. Sederhana. Jauh dari kriteria ideal saya, tapi saya merasa tenteram dengan menerimanya. Proses kami pun sederhana. Semuanya lancar. Tapi…Allah berkehendak lain. Calon saya meninggal dalam sebuah kecelakaan.”

Sampai disini si Mbak menghentikan ceritanya sejenak. Mengambil napas panjang dan menyusut sudut mata. Aku turut terenyuh mendengarnya. Saat itu baru kulihat kabut selintas menghiasi wajahnya.

“…Semua sudah berlalu sekarang. Sudah nyaris dua tahun lalu. Saya mencoba bangkit lagi. Setahun terakhir, lima proses saya jalani. Menambah 16 proses sebelumnya yang tak semuanya saya ingat lagi. Lima proses itu saya jalani dengan lebih pasrah. Lebih lapang dada. Saya menghargai mereka masing-masing. Saya tidak membanding-bandingkan. Saya tak lagi menggebu, tak lagi sangat idealis…. tapi juga tak membuat saya membabi buta, menerima siapa saja seperti membeli kucing dalam karung.”

“Satu orang gagal sebelum biodata saya sampai kepadanya. Dia sudah lebih dulu menerima orang lain. Orang kedua, pemuda yang biasa-biasa saja, tak mau menerima syarat saya untuk belajar ngaji pada teman saya sesama laki-laki. Dia memaksa belajar pada saya dan mendesak agar saya jadi pacarnya dulu. Orang ketiga, menolak karena orang tuanya tidak mau menerima orang yang tidak sesuku dan dia ingin menuruti kehendak orang tuanya. Orang keempat, teman saya sendiri, mengatakan kalau dia belum siap meski tidak menolak. Orang kelima berubah pikiran di tengah proses. Tadinya dia tidak mempermasalahkan usia saya yang lebih tua, tetapi kemudian dia mengatakan kepada perantara saya ingin mencari yang usianya lebih muda.”

“Pengalaman-pengalaman yang saya jalani selama ini telah memberi banyak sekali pelajaran dalam hidup saya. Satu, bahwa hidup tak selalu berjalan seperti yang kita inginkan.
Dua, bahwa pengalaman adalah benar-benar guru yang sangat berharga. Tiga, bahwa setiap orang benar-benar memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan mereka semua layak untuk mendapat penghargaan sebagai seorang manusia. Empat, jika saya tak dapat memperoleh apa yang saya cintai, maka lebih baik saya mencintai apa yang saya telah saya peroleh dan memiliki. Lima, dan banyak lagi. Intinya, jika memang bukan jodoh, bahkan hal-hal kecil pun dapat menjadi penghalang dan penyebab gagalnya perjodohan.”

“Kini saya merasa lebih pasrah dan arif menyikapi hidup. Tak ada yang salah, tak ada yang ribet. Hanya waktu yang belum tiba pada masanya. Hanya puzzle yang belum menemukan pasangannya. Semua masih biasa saja.”

Si Mbak mengakhiri ceritanya. Tersenyum tulus kepadaku. Aku menyambutnya. Dan kami tenggelam dalam dekap haru. Pelukan persaudaraan. (www.baitijannati.wordpress.com)

oleh : Azimah Rahayu
azi_75@yahoo.com

sumber : http://baitijannati.wordpress.com/2007/04/08/dua-puluh-satu-kali/

Minggu, 31 Mei 2009

Skripsi, skripsi, dan skripsi.

Sudah mulai count down deadline penyerahan skripsi. pusing...

Jumat, 22 Mei 2009

Cepat Vs Pelan (yang ga gw banget)

1. Jalan Pelan
Entah kenapa rasanya ga bisa jalan pelan-pelan, sampai-sampai beberapa teman ga mau ngajak jalan coz katanya selalu ditinggal. Paling ga suka juga jalan rame-rame coz pasti "macet" disana sini, baru jalan dua,tiga langkah, pasti pada berenti ngobrolin apa gitu. So, kalo jalan ma saya rame-rame, saya duluan aja ya, ntar ketemu dimana bilang aja. Hehe...

2. Makan cepat-cepat
Buat saya aktifitas makan memakan itu harus benar-benar dinikmati. Kalo makan tergesa-gesa atau dalam tekanan, udah deh makannya ntar aja. Tapi dulu, dian sering makan sambil baca buku, makanya sering dimarahi bapak.

3. Ngomong pelan
Beberapa teman kalo ngomong ma dian kadang-kadang menyarankan untuk tarik napas dulu. tetetetetet...katanya ngomongnya cepat banget. Tapi gimana ya cara mengurangi kecepatan ini. hmm,,,waktunya dibikin lebih lama?

4. Berpikir cepat
Ngerasa sering telmi. Kadang-kadang kalo ada yang cerita, teman-teman yang lain udah ketawa dian hanya bengong ntar kalo yang lain udah selesai ketawanya, dian baru nyadar dan ketawa. Aneh tapi nyata...

5. Ngerjain tugas cepat
Dian sering bilang ke teman-teman satu departemen dian, "tenang aja, kalo masih ada Dian, kalian ga bakal jadi orang yang terakhir ngumpulin tugas", hehe,,,tapi biasanya sih teman-teman ga percaya.

Segitu dulu kali ya,ntar kapan-kapan dan kalo lagi mood dilanjutin lagi.

Rabu, 20 Mei 2009

Oh, Inikah Rasanya

Pernahkah Anda merasa sangat dibenci seseorang? Kira-kira berapa orang yang sangat membenci Anda? Satu, dua, tiga, atau susah untuk menghitungnya? Hmm,,,jangan putus asa kawan. Ketika ada seseorang membenci Anda, terasa begitu membenci Anda. Sampai-sampai mendengar nama Anda pun mereka mungkin langsung muntah. Jangan sedih kawan. Karena ketika ada seseorang sangat membenci Anda sebenarnya dia adalah orang yang sangat mengerti Anda, seseorang yang sangat mengetahui kelebihan dan titik terlemah Anda. Orang yang seperti mereka itulah yang perlu Anda sayangi. Mereka adalah kunci kesuksesan Anda. Karena ketika seseorang membenci kita, pasti ada hal mendasar yang membuat dia begitu membenci kita. Hal mendasar itulah yang mungkin saja adalah kelemahan mendasar kita yang "memaksa" kita untuk melakukan introspeksi diri. Walaupun mungkin tidak bisa membuat mereka menyukai kita lagi, tapi setidaknya kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dikemudian hari.

Akhirnya, Aku harus mengakui Aku sangat menyayangi orang yang membenciku.

jazakalloh khairan katsir buat seorang teman. Adakalanya segala sesuatu memang tidak harus dilihat dari sudut pandang negatif. Terima kasih, Kawan. (^_^)

Selasa, 19 Mei 2009

Tujuan Hidup, Pentingkah?

Apa tujuan hidup Saya? Apa tujuan hidup Anda? pertanyaan itu terkadang sering saya lontarkan kepada teman-teman saya. Tujuan hidup merupakan hal yang sangat penting, yang mendasari setiap langkah dan gerak gerik kita. Ketika kita mengetahui secara pasti apa yang menjadi tujuan hidup dan hal yang ingin kita capai didunia ini, maka apapun dan dimanapun kita, setiap gerak gerik akan sadar atau tidak sadar menggiring kita untuk meraih itu. Seberapa dalam pun kita terjatuh, kita akan berusaha bangkit untuk meraih tujuan hidup tersebut.


Bagaimana dengan seorang muslim? apa yang menjadi tujuan hidup mereka? Dalam surat Adz-dzariyat: 56, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” [Adz-Dzariyat : 56]. Tidak lain dan tidak bukan puncak tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Alloh semata.


Tujuan hidup saya (terkadang saya menyebutnya dengan visi hidup) adalah beribadah kepada Alloh, membahagiakan kedua orang tua, serta berusaha berbuat baik kepada sesama. Klise mungkin tapi bagi saya, mempunyai tujuan hidup merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Ketika kita merasa sangat “down”, tujuan hidupmu akan membuatmu kembali bersemangat menjalani hari-harimu. Ketika merasa sangat bahagia pun tujuan hidupmu akan mendorongmu untuk selalu bersyukur terhadap apa yang kamu telah peroleh.


Lalu bagaimana dengan kamu, apa tujuan hidupmu?