Artikel ini saya ambil dari almanhaj.or.id, semoga bermanfaat.
Puasa Berdasarkan Satu Ru'yat [Penglihatan]
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah kaum muslimin diseluruh dunia diharuskan berpuasa berdasarkan satu ru’yat ? Dan bagaimana puasanya kaum muslimin di beberapa negara kafir yang tidak ada ru’yat syar’iyyah?
Jawaban
Para ahlul ilmi telah berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu jika di suatu negara kaum muslimin telah terlihat hilal, yang mana ru’yat itu telah memenuhi standar syar’iat, apakah kaum muslimin lainnya harus mengikuti hasil ru’yat tersebut ?
Di antara ahlul ilmi ada yang mengatakan, bahwa itu mengharuskan kaum muslimin untuk berpedoman pada hasil ru’yat tersebut. Mereka berdalih dengan keumuman firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka wajiblah ia berpuasa dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” [Al-Baqarah : 185]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika kalian melihatnya (hilal Ramadhan) maka berpuasalah”. Mereka mengatakan , “khitab ini bersifat umum, berlaku untuk seluruh kaum muslimin”.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa yang dimaksudkan itu bukanlah ru’yat setiap orang dengan penglihatannya masing-masing, karena hal itu tidak mungkin. Yang dimaksud itu adalah, bila yang melihatnya itu seorang yang dapat dipercaya penglihatannya tentang masuknya bulan (bergantinya bulan), dan ini bersifat umum di setiap tempat.
Para ahlul ilmi lainnya berpendapat, bahwa tempat-tempat munculnya hilal itu berbeda-beda, sehingga setiap wilayah ada tempat sendiri-sendiri, Jika tempat munculnya hilal itu sama, maka orang-orang yang berada di wilayah tersebut, kendati belum melihatnya, harus mengikuti, jika memang di bagian lain (dalam kawasan yang sama tempat terbitnya) telah terlihat hilal.
Mereka berdalih dengan dalil yang sama, mereka mengatakan : Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka wajiblah baginya berpuasa” [Al-Baqarah : 185]
Dan sebagaimana diketahui, bahwa yang dimaksud itu bukanlah penglihatan masing-masing orang, tapi cukup dilakukan di tempat yang bisa melihat munculnya hilal. Hal ini berlaku untuk setiap tempat yang masih satu kawasan. Adapun kawasan lain yang tempat munculnya hilal berbeda dengan tempat tersebut, jika memang belum melihatnya, maka tidak harus mengikutinya.
Mereka juga mengatakan : Kami juga mengatakan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal syawwal) meka bebukalah” [1]
Bahwa orang yang berada di suatu tempat yang tidak sekawasan dengan orang yang telah melihat hilal, maka secara hakikat dan hukum ia belum termasuk yang melihatnya. Lebih jauh mereka mengatakan : Penentuan waktu bulanan adalah seperti halnya penentuan waktu harian, karena negara-negara itu berbeda waktu mulai puasa dan bukanya setiap hari, maka demikian juga dalam penetapan mulai dan berakhirnya bulan. Sebagaimana diketahui, bahwa perbedaan waktu/hari telah disepakati oleh kaum muslimin, di mana orang-orang yang berada di belahan timur bumi lebih dulu berpuasa daripada yang berada di belahan barat, demikian juga, mereka berbuka lebih dulu.
Jika kita memberlakukan perbedaan waktu terbit harian ini, maka untuk penetapan bulan pun sama persis perbedaannya.
Tidak mungkin seseorang mengatakan, bahwa firman Allah.
“Artinya : Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam” [Al-Baqarah : 187]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Jika malam telah datang dari sini dan siang telah berlalu dari sini, sementara matahari telah terbenam, maka telah berbuka orang yang puasa” [2]
Tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ini bersifat umum yang berlaku untuk seluruh kaum muslimin di semua negara.
Kami pun berpedoman pada keumuman firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) dibulan itu maka wajiblah baginya berpuasa” [Al-Baqarah : 185]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal syawwal) maka berbukalah” [3]
Pendapat ini, sebagaimana anda lihat, cukup kuat baik secara lafazh, pandangan dan kiyas yang benar, yaitu mengkiaskan penetapan waktu bulanan pada penetapan waktu harian.
Ahlul ilmi lainnya berpendapat, bahwa perkaranya di tangan yang berwenang dalam masalah ini. Jika yang berwenang itu berpendapat wajibnya puasa atau berbuka berdasarkan itu yang dilandasi oleh sandaran syar’i, maka ketetapan itu yang berlaku. Hal ini agar orang-orang yang berada di satu wilayah tidak berlainan. Mereka berdalih dengan kumuman hadits.
“Artinya : Hari puasa adalah hari dimana kalian semua berpuasa, dan hari berbuka adalah hari dimana kalian semua berbuka” [4]
Ada juga pendapat lain dari para ahlul ilmi seputar perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Kemudian tentang hal kedua yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu bagaimana puasanya kaum muslimin di beberapa negara kafir yang tidak ada ru’yat syar’iyahnya ? Mereka disana tidak memungkinkan untuk menetapkan hilal dengan cara syar’i, maka caranya, mereka berusaha untuk melihatnya jika memungkinkan, jika tidak memungkinkan, maka ketika telah ada ketetapan ru’yat hilal di suatu negara Islam, mereka melaksanakan berdasarkan ru’yat tersebut, baik itu mereka telah melihatnya ataupun belum.
Kalau kita berpijak pada pendapat kedua, yakni masing-masing negara berdiri sendiri jika tempat munculnya hilal berlainan, sementara mereka tidak bisa melakukan ru’yat di negera tempat tinggalnya, maka mereka mengikuti negara Islam yang terdekat, karena cara inilah yang paling memungkinkan untuk mereka lakukan.
[Kitab Ad-Da’wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/152-156)]
[Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR Al-Bukhari, kitan Ash-Shiyam (1900), Muslim, kitab Ash-Shiyam (8/1080) dari hadits Ibnu Umar. Muslim (20/1081) dari hadits Abu Hurairah.
[2]. HR Al-Bukhari, kitan Ash-Shiyam (1954), Muslim kitab Ash-Shiyam (1100)
[3]. HR Al-Bukhari, kitab Ash-Shiyam (1900), Muslim kitab Ash-Shiyam (8/1080) dari hadits Ibnu Umar. Muslim (20/108) dari hadits Abu Hurairah.
[4]. HR Abu Daud, kitab Ash-Shaum (2344), At-Turmudzi, kitab Ash-Shaum (6/97) dari hadits Abu Hurairah, At-Turmudzi juga meriwayatkan seperti itu (802) dari hadits Aisyah.
Rabu, 27 Agustus 2008
Langganan:
Postingan (Atom)